Sabtu, 20 Juli 2013

Beranda » » Ini 12 Film Terbaik Denpasar Film Festival  

Ini 12 Film Terbaik Denpasar Film Festival  

TEMPO.CO, Denpasar - Dewan kurator Denpasar Film Festival 2013 telah menyaring 69 film dokumenter yang masuk kontes. Hasilnya, ada 12 film terpilih yang mereka ajukan ke dewan juri. Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, Made Mudra, mengakui jumlah itu melebihi kuota sebelumnya, yakni 10 film.

"Karena berbagai pertimbangan, seperti nilai kembar di beberapa judul film pada peringkat atas, jadi jumlahnya bertambah," kata Mudra, Jumat, 19 Juli 2013. "Karya yang bersaing di Denpasar Film Festival kali ini banyak yang bagus. Mereka bersaing ketat dan itu cukup memusingkan kurator."

Nantinya, dewan juri menyeleksi lima dari 12 film itu. Dari kelima film unggulan, akan muncul satu film terbaik Denpasar Film Festival 2013. "Pemenangnya bakal memboyong trofi DFF beserta uang tunai Rp 20 juta," ujar Mudra. Dan ke-12 film itu adalah

1. Amelia, karya Sigit Purwono, Denpasar.

Amelia mengangkat kisah nyata dua bayi kembar siam yang dilahirkan dari pasangan miskin, Ketut Suardana dan Nyoman Sukerini, asal Desa Busung Biu, Buleleng, Bali. Bayi kembar siam ini berhasil dipisahkan. Namun hanya satu yang mampu hidup karena bayi lainnya menderita hidrocepalus dan kelainan jantung, hingga meninggal seusai operasi pemisahan.

2. Danau Gulma, karya I Putu Oka Sudarsana dan Agus Wiranata, Denpasar.

Film ini mengangkat peran Danau Batur sebagai sumber air bersih bagi Kabupaten Buleleng Timur, Karangasem, Bangli, Klungkung, dan Gianyar. Namun kini, danau itu dihantui pencemaran dan kemungkinan pendangkalan akibat berkembang pesatnya pertumbuhan tanaman eceng gondok di situ.

3. Di Balik Topeng Bondres, karya Putu Satria Kusuma, Buleleng.

Sinema yang satu ini memaparkan perjalanan grup topeng bondres, Sanggar Dwi Mekar Buleleng, yang begitu populer. Ketenaran sanggar ini tidak hanya membuat pencinta seni gembira, namun juga cemas. Mereka khawatir topeng bondres justru memusnahkan kesenian topeng panca, induk dari topeng bondres.

4. Di Batas Kekuasaan, karya Nur Fitriah Napiz, Jakarta.

Dalam filmnya, Fitriah bercerita tentang tiga warga Jakarta yang memiliki hak pilih dalam Pemilukada DKI 2012. Berlatar belakang berbeda, ketiganya saling berargumen bahwa pilihan merekalah yang terbaik dalam pesta demokrasi itu.

5. Macaca Fascicularis - di Balik Tabir Monyet Ekor Panjang, karya Vicky Hendri Kurniawan, Banyuwangi.

Film satwa ini mengisahkan keberadaan monyet ekor panjang yang banyak berguna bagi keseimbangan alam dan kehidupan manusia. Namun hanya sedikit orang yang mengerti pentingnya keberadaan monyet ekor panjang.

6. Orang Laut, karya Nur Handoyo, Jakarta.

Orang Laut mengangkat kisah keseharian Tadi, 62 tahun, penduduk Bajo yang tinggal dalam rumah panggung di Selat Hoga. Bersama anaknya, La Uda, setiap hari Tadi menumpangi sampan kecil untuk mengarungi laut. Di sana, mereka menombak ikan dengan sangat cekatan. Bahkan, La Uda sanggup menyelam dan menombak ikan tanpa alat bantu apa pun.

Sementara istri Tadi adalah seorang sandro atau dukun suku Bajo yang membantu ritual memandikan bayi di laut. Dulu, suku Bajo punya tradisi melemparkan bayi yang baru lahir ke laut. Tapi kini tradisi itu sudah berubah. Bayi cukup dimandikan dengan air laut.

7. Penutur Terakhir, karya Aditya Heru Wardhana, Jakarta.

Dalam karyanya, Aditya menceritakan remaja yang berusaha mendokumentasikan kosakata bahasa Ibo, bahasa daerah di Maluku Utara, yang terancam punah. Pada saat ini, hanya tersisa empat penutur bahasa Ibo dan semuanya berusia di atas 60 tahun. Bila mereka meninggal, lenyaplah bahasa Ibo dari muka bumi.

8. Persona, karya George Arif, Jakarta.

Persona berkisah tentang Rita, aktris teater senior di Teater Koma, Jakarta. Film ini mengikuti kehidupan Rita, di atas dan luar panggung selama enam tahun, sejak 2006 lalu.

9. Pulo Aceh; Surga yang Terabaikan, karya R.A. Karamullah, Banda Aceh.

Film ini menggambarkan ironi Kampung Meulingge di pesisir perairan Samudra Hindia, wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Di kampung itu, kondisi sarana pendidikan, kesehatan, dan segala kepentingan masyarakat sangat memprihatinkan. Hidup dengan segala kesulitan membuat Meulingge seperti surga yang terabaikan.

10. Ragat'e Anak, karya Ucu Agustin, Jakarta.

Ragat'e Anak menuturkan perjuangan Nur dan Mira untuk masa depan yang lebih baik bagi anak mereka. Keduanya bekerja sebagai pemecah batu dengan penghasilan minim. Karena pendapatan itu tak cukup untuk membiayai hidup, pada malam hari, keduanya bekerja sebagai pekerja seks komersial di sebuah area prostitusi liar di Kuburan Cina, Gunung Bolo.

11. The Man Comes Around, karya Adih Saputra, Tangerang.

Film ini bercerita tentang Anti Tank, kelompok warga Yogyakarta yang menekuni seni jalanan sebagai ekspresi dari kepedulian pada negara. Anti Tank sangat gencar mengutarakan opininya mengkritik pemerintah dengan menempatkan poster di ruang publik. Mereka pun tak gentar menghadapi berbagai ancaman dan intimidasi.

12. Risalah Van der Tuuk, karya Irwan Wahyudi, Lampung.

Sinema terakhir ini mengisahkan upaya penyelamatan bahasa Nusantara, sesuai pesan surat H.N. van der Tuuk kepada P.J. Veth, 14 April 1867.

Untuk menyeleksi ke 12 film itu, Denpasar Film Festival 2013 mengerahkan lima juri. Yakni, Lawrence Blair, Slamet Rahardjo Djarot, Rio Helmi, I Made Bandem, dan I Wayan Juniarta.

ROFIQI HASAN

Berita Terpopuler:

Ansor: Berlagak Jagoan, Warga Lawan FPI

Begini Kronologi Bentrok FPI di Kendal

7 Bisnis Spektakuler Incaran Yusuf Mansur

Dahlan Iskan:Yusuf Mansur Mau Beli Bank Muamalat

Dahlan: Saya Tak Mau Nama Yusuf Mansur Jelek

Source : http://id.berita.yahoo.com/ini-12-film-terbaik-denpasar-film-festival-073342444.html