Senin, 19 Agustus 2013

Beranda » » Metallica, Band yang Populerkan Heavy Metal

Metallica, Band yang Populerkan Heavy Metal

TEMPO.CO, Jakarta - Eropa, dua tahun lalu, dipandang cenderung kelam secara bisnis. Selalu percaya pada kemampuan instingnya untuk bertanya apa, kapan, dan di mana waktu terbaik untuk mengerjakan sesuatu, Cliff Burnstein pun mengalihkan perhatian jangka panjangnya ke kawasan dengan mata uang lebih kuat: Amerika Selatan, Asia Tenggara, dan Australia.

“Kami produk ekspor Amerika Serikat seperti halnya Coca-Cola,” katanya, seperti dikutip The Wall Street Journal kala itu. “Kami melihat pasar terbaik sebagai tujuan. Saat ini Indonesia ada dalam daftar pantauan saya.”

Produk yang disebut Burnstein tak lain adalah Metallica. Inilah band yang merupakan satu dari empat pionir thrash metal, salah satu cabang aliran musik heavy metal yang asal-usulnya bisa dilacak hingga ke paruh pertama 1970-an. Dan band inilah yang memasukkan Indonesia ke daftar tujuan tur dunianya kali ini, berdampingan dengan dua kota lain di Asia Tenggara.

Konser yang rencananya berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Ahad pekan depan 25 Agustus 2013 itu bukan yang pertama. Pada 1993, di puncak kejayaannya, Metallica tampil menghibur penggemarnya di Stadion Lebak Bulus di Jakarta. Kedatangannya lagi kali ini jelas mengobarkan gairah penggemar setianya; sampai pekan lalu, Black Rock Entertainment, promotornya, mencatat 25 ribu lembar karcis sudah terjual. Tapi, bagaimanapun, kedatangan ini harus diletakkan juga dalam konteks Burnstein itu.

Burnstein, yang bermitra dengan Peter Mensch memanajeri Metallica (juga beberapa artis lain, melalui Q Prime), sebenarnya tak menjadikan kurs euro yang menyusut sebagai satu-satunya pemandu keputusan bisnisnya. Dalam kenyataannya, Metallica tak pernah melewatkan Eropa setiap kali tur. Para personel Metallica, menurut Neil McCormick, yang menulis di The Telegraph sehari setelah wawancara dengan Burnstein terbit, bahkan selalu memboyong keluarga masing-masing. McCormick mengutipkan kata-kata Lars Ulrich, drummer Metallica, kepadanya bahwa Metallica “tak lagi membikin musik demi uang”.

Dengan kata lain, Burnstein mewakili kepentingan perusahaannya: bahwa tempat untuk menghasilkan uang makin bertebaran di dunia ini, jadi dia hendak memastikan mesin bisnisnya bekerja lebih giat. Dan dia punya “barang jualan” yang sejauh ini masih moncer.

Dengan total penjualan album mencapai seratus juta kopi di seluruh dunia, Metallica memang tergolong kelompok musik yang sukses. Mereka, menurut Steven Hyden dalam artikel berserinya di Grantland.com, situs yang berfokus pada olahraga dan budaya pop, termasuk “para pemenang dalam sejarah rock ’n’ roll”.

Yang lebih utama dari fakta itu: Metallica adalah band dalam tradisi heavy metal, musik yang selalu dipandang remeh, dilecehkan, dan dicerca, sebuah kultur “orang luar”. Cerita sukses mereka, dengan sendirinya, mengandung unsur keberhasilan mengangkat heavy metal ke tataran yang menjadi perhatian dan bahan pembicaraan orang ramai. Pada 1991, album kelima mereka, Metallica (dikenal sebagai The Black Album), mengokupasi peringkat pertama daftar album paling laku di sepuluh negara begitu dirilis. Di seluruh dunia, album yang melahirkan lima lagu hit ini terjual hingga 30 juta kopi.

Tak kalah pentingnya, yang menjadikan semua itu bagai piala kejayaan yang tiada tara nilainya adalah Metallica datang dari wilayah yang lazim disebut underground, dunia bawah tanah. Wilayah itu merupakan kancah yang tak ada di radar arus utama, hanya dikenal oleh kalangan tertentu. (Baca selengkapnya di Majalah Tempo terbaru)

PURWANTO SETIADI

Source : http://id.berita.yahoo.com/metallica-band-yang-populerkan-heavy-metal-055219847.html