Kerabat dan kolega seniman melakukan salat di depan jenazah dalang Ki Slamet Gundono (48) saat upacara penghormatan terakhir di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Jateng (5/1). ANTARA /Andika Betha
TEMPO.CO, Surakarta - Kepergian seniman wayang suket atau wayang rumput Slamet Gundono meninggalkan kesan tersendiri bagi seniman gerak, Suprapto Suryodarmo. Bagi Suprapto, Slamet Gundono tidak sekadar berkesenian tapi memahami kesenian sebagai media menyampaikan kritik sosial.
"Misalnya tentang wayang suket yang muncul di awal 2000, itu menandakan kesenian selalu berpijak pada akar rumput di masyarakat," kata Suprapto ketika ditemui di rumah sakit Yarsis Surakarta, Minggu, 5 Januari 2014.
Wayang suket mengekspresikan apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat bawah atau kalangan akar rumput. "Dia pernah mengatakan bahwa negara juga harus memperhatikan masyarakat bawah," ucapnya.
Menurut Suprapto, karya-karya Slamet Gundono berpijak pada kegelisahan di kalangan akar rumput, sehingga lahirlah beragam wayang yang keluar dari pakem. "Ada wayang suket, wayang api, wayang air, wayang hujan, dan wayang tanah," katanya.
Wayang hujan, misalnya, diciptakan dari kegelisahan Slamet tentang banjir yang kerap terjadi di Surakarta. "Dia mengingatkan tentang bahaya banjir dan bagaimana cara mengatasinya, dengan media wayang," kata Suprapto.
Ketika prihatin terhadap kondisi tanah di Kalimantan yang rusak karena pertambangan liar, Slamet menciptakan wayang tanah.
Pemimpin Padepokan Lemah Putih ini memuji komitmen Slamet untuk menampilkan wayang sebagai media kritik sosial dan pencerahan ke masyarakat.
Slamet Gundono meninggal pada Minggu, 5 Januari 2014 di rumah sakit Yarsis sekitar pukul 08.30. Dugaan awal penyebab kematiannya adalah komplikasi jantung, lever, dan paru-paru akibat penyakit hepatitis B dan darah tinggi.
UKKY PRIMARTANTYO
Source : http://www.tempo.co/read/news/2014/01/05/114542386/Slamet-Gundono-Berpijak-Pada-Akar-Rumput